Sabtu, 24 Oktober 2009

MENUNGGU MATAHARI

Setiap pagi Asmin duduk di tepi danau itu. Ia selalu menyempatkan diri ke tempat itu tanpa ditemani siapa pun. Ia masih anak kecil, juga anak tunggal, kelas dua sekolah dasar yang cukup jauh dari kampungnya. Berbakti kepada ibu yang telah lama ditinggal bapaknya dijemput Malakulmaut. Ia merasa ada sesuatu yang berharga jika duduk di tepi danau yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya, yang terbuat dari bilik-bilik.
Air danau itu memang jernih, sehingga bebatuan yang ada di dasarnya terlihat dengan jelas bentuk, letak, dan lekukannya. Air danau itu mengalir dengan kecepatan yang tenang di antara bebatuan besar yang mencoba menghadang arusnya. Tetapi justru dengan pemandangan itu suasananya semakin bertambah indah dan menakjubkan. Pohon-pohon besar yang merengkuhkan dahan-dahannya yang berdaun lebat seperti mencoba memayungi keindahan danau itu dari guyuran musim hujan yang kadang-kadang seperti sedang marah.
"Asmin, kamu jangan terlalu sering main di tepi danau itu," kata ibunya pada suatu malam, sebelum tidur. "Nanti kamu terjatuh dan terbawa arus atau tenggelam."
Nasihat yang diwejangkan ibunya itu hanya ditanggapi dengan dingin saja. Namun ia tidak mau menampakkan kedinginannya itu di depan ibunya, karena ia pun menyadari bahwa kata-kata yang diucapkan oleh ibunya itu adalah benar dan sebagai tanda rasa cinta ibu terhadap anaknya. Apalagi ia anak satu-satunya, pikir Asmin dalam hati. Ia tetap mendengarkan setiap nasihat yang diucapkan ibunya dengan rasa sopan dan rendah diri. Tetapi keesokan harinya ia selalu menyempatkan diri lagi ke tepi sungai itu, beberapa menit sebelum langkah-langkah semangatnya diayunkan menuju sekolahnya tempat ia menimba ilmu.
Danau yang indah itu tidak terlalu jauh dari samping rumah mungil yang terbuat dari bilik-bilik itu. Dan jarak antara rumah itu dengan rumah-rumah penduduk lainnya cukup berjauhan. Karena daerah yang mereka tempati boleh dikata sangat terpencil dan jauh dari keramaian jalan desa, jalan kecamatan, apalagi jalan dan kota kabupaten. Jangankan berharap akan adanya masuk listrik, jalan setapak yang biasa dipakai pun rasanya tak pernah mendapat perhatian dari pegawai desa. Hanya pernah beberapa tahun yang lalu, menjelang pemilihan umum, sempat tersebar isu bahwa apabila partai tertentu menang dalam meraih suara terbanyak di wilayah kecamatannya, maka kondisi jalan sepanjang menuju kampung itu akan diperbaiki dan dilebarkan. Tetapi kabar itu hanya tinggal kebisuan rumpu-rumput liar dan pepohonan yang banyak tumbuh di sepanjang jalan setapak itu.
Asmin rupanya menyimpan harapan yang selalu ia tunggu-tunggu dari tepi danau yang jernih itu. Di seberangnya terhampar berpetak-petak sawah dalam kehijauan, sangat indah sebagai salah satu pemandangan yang alamiah. Danau itu membentang dari hulu utara menjalar, membatasi wilayah timur kampungnya, ke arah selatan yang rada landai. Di sanalah, di tepi danau itulah, Asmin selalu duduk menyendiri menghadap ufuk timur menanti matahari. Ya, ia selalu menanti matahari terbit dengan kebulatan yang sempurna dalam warna merah disambut harum mekar bunga-bunga putih dari rekah tanah subur dan tumbuhan lain yang terkena sinar hangat matahari itu.
Tetapi, semenjak selesainya pemilu beberapa tahun yang telah lewat itu, matahari tak pernah kembali terlihat terbit di ufuk timur. Padahal sebelum terjadinya hal ini, tak ada tanda-tanda yang membuat keadaan akan berubah seperti akhir-akhir ini. Setiap pagi yang ada dan terlihat sekarang di ufuk timur itu hanyalah gumpalan-gumpalan kabut putih dalam ketebalan yang luar biasa. Sehingga kampung Asmin dan penduduknya yang jarang-jarang itu telah lama tidak lagi dapat menikmati pemandangan matahari terbit dan kehangatan cahayanya.
"Bu, kapankah matahari itu akan terlihat kembali setiap terbitnya?" tanya Asmin pada suatu siang, setelah pulang dari sekolahnya.
"Entahlah, Nak, kita tidak punya kuasa untuk memastikannya."
"Apakah orang-orang di kampung ini juga tidak tahu kapan matahari itu akan terlihat, Bu?"
"Sudahlah, itu adalah kuasa Tuhan," jawab ibunya sambil mengusap-usap kepala Asmin. "Dan kita tidak usah mencemaskannya." Sebenarnya Asmin merasa kecewa dengan jawaban ibunya yang tidak memuaskan. Tetapi ia memendam kekecewaannya itu dengan tidak bertanya lebih jauh lagi.
"Sekarang, gantilah seragam sekolahmu," lanjut ibunya, "lalu makan, dan setelah itu bantu ibu memotongi kayu bakar." Tanpa banyak alasan lagi Asmin segera melakukan apa yang baru saja ibunya katakan.
*****
Pada suatu malam Asmin bermimpi tentang seorang pangeran dari negeri Antaha. Ia datang kepadanya membawa satu pesan yang sangat mengagetkan. Dia datang menjelang pagi hari, dengan pakaian kebesarannya yang gagah seperti dalam dongeng-dongeng kerajaan jaman dahulu. Dan pangeran itu datang dengan beberapa orang anak-anak, laki-laki dan perempuan, yang juga hampir sama usianya dengan Asmin.
"Asmin, aku adalah pangeran Antanur dari negeri Antaha," kata sang pangeran memperkenalkan dirinya. "Kau tidak usah kaget dan takut dengan kedatanganku ini, karena sebenarnya maksud kedatanganku adalah ingin meluluskan keinginanmu untuk kembali menyaksikan matahari terbit dari ufuk timur."
"Pangeran tahu dari mana?," tanya Asmin keheranan.
"Aku selalu tahu pada keinginan anak-anak yang merindukan keindahan," jawab pangeran Antanur sambil tersenyum dan mengusap-usap kepala Asmin, seperti yang pernah dilakukan ibunya.
"Benarkah itu pangeran?," tanya Asmin kembali dengan perasaan berharap benar.
"Percayalah pada ucapanku, Asmin. Kau lihat anak-anak di sekelilingku ini, mereka juga mempunyai keinginan yang sama dengan keinginanmu. Maka dari itu, aku datang ke sini menemuimu, karena hanya kamulah sendiri yang belum aku beritahu caranya menyaksikan matahari itu terlihat setiap terbitnya. Dan yang paling utama, kamulah yang akan menjadi pahlawan dalam menyingkap tabir semua ini."
Meskipun Asmin merasa senang dan tersanjung dengan ucapan sang pangeran itu, di dasar hatinya ia tetap masih menyimpan keragu-raguan. Benarkah dirinya yang akan menjadi pahlawan dalam menyingkap tabir semua itu? Benarkah semua ucapan sang pangeran itu, sedangkan ia hanyalah anak yatim dan hidup di perkampungan yang sangat terpencil? Begitulah kira-kira isi keraguan yang ada dalam hatinya.
Kemudian pangeran Antanur mengajak Asmin dan anak-anak lainnya ke tempat Asmin biasa duduk menyendiri di tepi danau itu. Sesampainya di tempat, pangeran Antanur menyuruh mereka duduk bersila dalam bentuk lingkaran dengan tangan saling berpegangan, kecuali Asmin yang berada di tengah-tengah lingkaran itu berdiri seorang diri dalam sikap sempurna menghadap ke arah matahari akan muncul.
"Mulailah, sekarang pejamkan mata kalian dan berdoalah kepada yang mahakuasa agar matahari itu dapat terlihat ketika terbit," suruh pangeran kemudian. "Dan kau, Asmin, jangan kaget jika pada waktunya nanti kau akan berubah." Anak-anak itu menuruti apa yang telah dikatakan sang pangeran, dan ia sendiri hanya berdiri di belakang Asmin, di luar lingkaran, dengan mulut komat-kamit seperti sedang berdoa.
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba ada sesuatu yang terlihat lain dengan keadaan Asmin. Ia tidak lagi menapakkan kedua kakinya di atas tanah. Ia semakin terbang menjauhi bekas pijakannya. Melayang, melayang, dan melayang ke arah matahari akan terbit di balik gunung dari batas jauh hamparan petak-petak sawah. Asmin semakin jauh menempuh perjalanan dalam kemelayangannya. Hingga pada akhirnya ia berhenti di antara gumpalan-gumpalan kabut tebal yang menyebabkan matahari itu tidak pernah terlihat manakala waktunya terbit.
Di sanalah ia seolah-olah mempunyai kekuatan yang luar biasa, karena tiba-tiba kabut tebal itu memudar sedikit demi sedikit meninggalkan gumpalannya. Ya, benar-benar suatu peristiwa yang hebat dan baru terjadi.
Asmin, masih dengan keheranan yang mulai memudar dalam jiwanya, menyaksikan pudaran kabut yang semakin lama semakin cepat berhamburan dan menghilang dari pandangan mata itu, sedikit tersenyum. Entah ke mana gerangan gumpalan kabut itu. Hingga akhirnya Asmin kembali melayang ke arah anak-anak yang tadi mengelilinginya dalam sebuah lingkaran, setelah benar-benar ia menyaksikan dan meyakini bahwa kabut itu tak ada lagi, meski setitik.
Sekarang ia telah berada dalam lingkaran seperti semula, dalam keadaan sikap sempurna.
"Baiklah," kata sang pangeran tiba-tiba. "Kini saatnya kalian bersiap-siap menyaksikan matahari terlihat terbit dari balik gunung itu dengan keindahannya yang khas."
Kemudian anak-anak itu menghentikan doanya dan membuka mata masing-masing sambil mencoba berdiri menghadap ke arah di mana matahari itu akan terlihat terbit.
"Wooow........." kata mereka hampir berbarengan dengan nada takjub, karena suasana pandangan mereka ke depan kini benar-benar dirasakannya terbuka luas dan melegakan hati. Mereka sangat berbahagia dalam penantiannya akan melihat kembali matahari yang telah lama tidak pernah menampakkan dirinya ketika terbit.
Detik demi detik berkejaran dalam hitungan waktu, detak jantung mereka pun berdegup dalam harap-harap yang menegangkan berpadu dengan suara-suara ayam dan hewan lainnya yang seolah juga sedang ikut menyambutnya. Ya, hawa di sekitar mereka pun dirasakan hangat dan menambah semangat. Hingga pada akhirnya, tepat ketika sang pangeran secepat kilat menghilang dari hadapan mereka, matahari muncul sedikit demi sedikit dari balik gunung di jauh sana. Indah, ya, benar-benar indah dengan cahayanya yang khas menyinari kembali kampung Asmin yang terpencil itu. Harapan telah bersinar kembali dari waktu-waktu yang hampir buta.
Seolah mendapatkan sebuah hadiah yang sangat berharga, anak-anak itu begitu berbahagia dengan berbagai teriakan yang histeris khas anak-anak sambil berjingkrak kegirangan, cukup lama. Tetapi Asmin merasa tersadarkan karena adanya keganjilan di sekitar mereka. Ia merasa bahwa sang pangeran Antanur, yang berjasa membantu tercapainya harapan mereka telah tidak ada, tidak terlihat lagi bersama mereka. Asmin mencari-cari di sekitarnya, di antara anak-anak lain yang masih tenggelam dalam kebahagiannya. Setelah merasa yakin tak menemukan di sekitarnya, ia memisahkan diri berjalan mencari sang pangeran sambil memanggil-manggil namanya.
"Pangeran Antanur.... pangeran Antanur.... pangeran Antanur...." Orang yang dipanggil itu tidak juga menampakkan dirinya. Tetapi Asmin tidak putus asa, ia ulangi kembali memanggil-manggil nama itu dengan nada yang lebih keras, hingga gemanya menembus kerapatan pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar danau itu.
"Pangeran Antanur.... pangeran Antanur.... pangeran Antanur...."
*****
Ibunya segera membangunkan Asmin dari gundam yang memanggil-manggil nama pangeran Antanur itu, karena khawatir pada anaknya sedang dalam mimpi buruk. Satu kali belum sadar, dua kali belum juga sadar. Ketiga kalinya, barulah Asmin terbangun dan duduk di pinggir tempat tidurnya, tetapi dengan cepat ia menanyakan keberadaan pangeran Antanur kepada ibunya.
"Ke mana ia perginya, Bu?" Yang ditanya tidak langsung menjawab, ibu Asmin malah dengan tenang berusaha menepuk-nepuk pipi anaknya supaya segera sadar dari tidur dan dunia mimpi anak kesayangannya.
"Bangunlah, Nak, bangun..." kata ibunya.
Tetapi Asmin belum juga sadar rupanya. Ia masih terus memanggil-manggil pangeran Antanur.
"Pangeran Antanur... pangeran Antanuur... pangeran Antanur.... di manakah kau? Aku mencarimu. Aku tak mau kehilangan dirimu..."
Ibunya menepuk-nepuk pipi Asmin lebih keras lagi. Tapi sang anak tetap tak bergeming. Asmin malah memanggil-manggil pangeran Antanur lebih keras lagi. Dan tanpa diduga, Asmin segera berdiri dan lari sekencang-kencangnya ke luar rumah menyusuri jalanan setapak penuh rimbun, menuju tepi danau tempat ia biasanya menunggu matahari terbit dari balik gunung di jauh sana.
"Pangeran Antanur... pangeran Antanur... pangeran Antanur.."
Ibunya terkesiap tak mengerti. Ia hanya dapat melongo dengan mulut terbuka menyaksikan anaknya lari dan terus lari tunggang-langgang. Hatinya terasa berat. Kemudian ia menangis dari balik jendela yang baru saja ia bukakan.

SEORANG KEKASIH YANG TIADA BERNAMA

Kutemukan ia dalam remah-remah pengkhianatan seorang perempuan. Sebenarnya sudah kupastikan untuk tidak menaburi luka ini dengan air cuka baru, namun setiap perjalanan menentukan jalannya sendiri. Maka, kini pun aku terduduk dalam dalam dekapan tuts-tuts elektronis, merangkum seluruh aromanya yang belum lama hilang, dan mencoba melupakan segala letih. Jiwa raga.

Dia tidak pernah kuketahui namanya. Atau memang aku tidak mau mengingat. Aku ingin, jika saja kemanisan ini akan mempertahankan dirinya, maka kenangnya akan tertulis sebagai anonim. Sebagai monumen yang orang akan mengenalnya tanpa perlu bantuan kata. Dan jika saja ia ingin mencuri hatiku dan lalu memusnahkannya, aku takkan pernah punya dendam. Sebab ia tidak bernama, dan dendam butuh entitas.

Apakah aku mengetahui segala tentang seorang perempuan ini? Tidak juga. Tapi kuanggap ia adalah perempuan yang tidak biasa, yang bersinar-sinar dalam aura magisnya tiap kali berkelebat dari pandanganku. Ah, sebenarnya tidak secara harafiah demikian. Sebab aku pun belum pernah melihatnya.
“Mas, apa maksud semua kata-kata ini?”, tanyanya suatu kali dalam kotak imelku. Di bawah pertanyaan pendeknya itu, masih tertulis imel asli yang kukirimkan padanya beberapa hari lalu. Penuh kata-kata absurd, yang menggelikan jika kubaca sekarang. Tapi semua nada itu muncul begitu saja tatkala aku menuliskannya. Semua karena aku jatuh cinta.

Jatuh cinta?
Sebenarnya aku tidak ingin mengotori kenanganku padanya dengan kata-kata yang paling sering disalahmengerti ini. Tapi kurasa aku tak punya bahasa lain untuk mewakilinya. Kurasa bahasaku pun takkan dapat dipahaminya.
Maka, kukirimkan rangkaian bunga kemboja berjumlah duapuluh tangkai, di hari ulang tahunnya. Ia marah-marah setelah itu, berkali-kali mencoba menghubungiku, tapi telah kumatikan benda kecil yang selalu berdering-dering sambil mengedipkan namanya (meski aku tak mencoba mengingatnya). Dan esok harinya kotak imelku penuh dengan ratusan surat darinya. “Mas sudah gila ya?” Begitu saja. Tampaknya ia tidak mempunyai selera humor. Atau ia memang benar-benar marah.

“Mas, bisa kan kita ketemu?” pintanya suatu kali. Tapi aku begitu pengecut untuk sekedar memberanikan diri untuk memandang kornea yang demikian cerlang. Meski aku belum pernah melihatnya. Dan kembali kukirimkan rangkaian bunga mawar, setangkai saja. Dan kurasa ia bisa memahami apa yang diwakili oleh helai-helai merah darah itu.

Ia tidak pernah bertanya-tanya lagi, dan selalu menjawab setiap tanyaku. Selalu mau membalut luka-luka menahunku. Menemaniku melengkapi malam, meski dari jarak yang tak terukur indera. Tapi kutahu ia berjaga jika aku berjaga. Dalam berlaksa waktu, kukira ia adalah seorang dewi yang turun ke carutmarut duniaku ini. Entah untuk apa. Entah mengapa ia mampu menanggungkan segala perih yang kutumpahkan kepadanya, tanpa pernah berkata apa-apa. Mungkin ia malah tersenyum. Dan mungkin aku psikopat.

“Mas, aku ingin jadi kekasihmu.” Begitu saja ia menuliskannya. Tanpa ada bunga. Tanpa ada kembang api. Tapi hatiku hancur lebur karenanya, menanggungkan sukacita. Tapi aku tidak bisa menjumpainya. Tapi aku tidak bisa tuk sekedar memandang keajaiban yang merangkum jiwanya yang agung.

Mengapa? Aku tak tahu. Mungkin aku dikutuk oleh semesta untuk menjadi penunggu gua. Mungkin aku kelelawar yang tak bisa memandang kecerahan mentari. Mungkin aku drakula. Ah, betapa membosankannya kisahku ini. Tapi dalam kesendirianku, terduduk dalam dekapan tuts-tuts elektronis, merangkum seluruh aromanya yang belum lama hilang, dan mencoba melupakan segala letih, jiwa raga, aku masih bisa mengenangkan dirinya. Seorang kekasih yang tidak bernama. Dan aku begitu bersyukur karenanya.

Kautikam Aku Persis di Jantung

MERAH di langit barat telah lenyap ketika kita sampai di resto yang kaupilih sebagai tempat pertemuan. Cuma kita berdua dan karena itu kita pilih meja-kursi terpojok. Jauh dari panggung musik yang terlampau berisik. Jauh dari orang-orang yang makan sambil tertawa-tawa riang. Di mataku, terus terang, mereka adalah sekelompok manusia tanpa persoalan tanpa beban. Tidak seperti aku. Tidak seperti kamu. Tidak seperti kita. Paling tidak, pada malam itu. Kaupesan mi sea food yang entah bernama apa. "Makanan istimewa di resto ini," katamu meyakinkanku yang memang selalu ragu setiap kali berhadapan dengan daftar menu. Daftar yang tidak pernah tidak membingungkanku. Nama-nama asing, nama-nama aneh. Dan biasanya meneror lidah dengan rasa yang tak keruan pula. Nelayan memandangku dengan tatapan dan senyum mendesak. Cantik tapi suka memojokkan. Batinku sebel. Tapi, demi kau yang selama ini kusetiai, aku mengangguk kalah. "Sama," kataku.

"Minumnya, Mas?" "Sama." "Aku belum pesan..." selamu buru-buru. "Ya, sama, aku juga belum pesan," kataku asal-asalan.

Kau tertawa tapi terdengar sumbang. Pelayan itu tersenyum tapi terasa tak lebih sebagai ejekan. Tak ada simpati atau apalagi empati di bibirnya yang penuh itu. Bibir yang sangat sanggup menggetarkan syahwatku.

"Es kopyor durian..." katamu setelah (pura-pura kukira) melihat daftar menu. .."Mas?" Pelayan cantik itu, gila, lagi-lagi bertatapan dan bersenyum sangat mendesak. "Es durian kopyor." "Maaf Mas, yang kami sediakan es kopyor durian, bukan es durian kopyor." "Apa bedanya? Dicampur semua kan?" Kau tertawa lagi. Terdengar sumbang lagi. Pelayan itu tersenyum tapi juga sama dengan tadi, terasa tak lebih sebagai ejekan bagiku. Paling tidak, pada malam itu.

SAMBIL menunggu pesanan datang, kausulut rokok putih kesukaanmu. Kauisap nikotin dengan penghayatan pemadat sejati. Sungguh, sebenarnyalah aku tidak tahu apa isi kepalamu malam itu. Yang kutahu cuma satu: kau mengajakku bicara tentang kita. Bagian mana yang akan kaubicarakan, aku juga tidak tahu. Maka aku menunggu. Tak akan pernah aku memulai sesuatu yang tak kuketahui. Angin malam di Semarang atas mengirimkan hawa dingin tapi untunglah tidak menggigit, sehingga kita tak perlu berimpitan untuk saling menghangatkan seperti yang biasa kita lakukan ketika disergap gigil tak tertahankan. Untunglah karena malam itu aku benar-benar tidak sedang dalam keadaan siap untuk bermesra-mesra. Aku jauh lebih siap untuk pulang dan tidur. Pelayan cantik dengan bibir penuh yang sangat sanggup menggetarkan syahwatku itu datang membawa pesanan ketika rokok putihmu nyaris habis terbakar. Kaubuka mata sambil mengembuskan asap terakhir dan tersenyum ramah. Dia membalas dengan senyum yang tak kalah ramah tapi jelas pura-pura. Senyum profesional kukira. Apalagi, ketika melihatku sekilas, dia sembunyikan senyum ramah itu di balik bibirnya yang.... ah, kau pasti sudah tahu.

"Makan dulu, ngobrol dulu, atau makan sambil ngobrol?" "Ngobrol sambil makan saja," jawabku meski tahu pertanyaanmu pertanyaan retoris belaka. "Oke," katamu sambil mengurai dan memotong mi dengan garpu. Cuma dalam hitungan detik, kau telah mengunyahnya dalam kelahapan yang belum pernah kubayangkan. Aku tiba-tiba merasa kenyang hingga yang kulakukan hanya mengurai-urai mi dan sesekali menikmati es kopyor durian atau es durian kopyor. "Apa sebenarnya yang kauingin bicarakan di sini?" "Seminggu aku gelisah dan berpikir tentang kita. Baik kita sekarang maupun kita pada hari-hari dan tahun mendatang. Aku ingin kita selalu bersama tapi selera makan kita berbeda. Kalau tak kupaksa, kamu pasti pilih ke warung hik dan makan nasi kucing, lalu kita ketemu di suatu tempat tanpa acara makan bersama."

"Begitulah aku. Begitulah kamu. Begitulah kita." "Kenapa mesti begitu kalau sebenarnya kita bisa bersama, selalu bersama?"

"Kau tahu caranya?" "Kita menikah." Aku nyaris menelan es batu karena kau mengajukan usul yang jelas-jelas mustahil. Bukankah kau tahu belaka selera makan kita berbeda? Bagaimana mungkin kita berkomitmen untuk makan bersama di satu meja, setiap hari, setiap waktu? Lagi pula, ini yang paling bikin usulmu itu sangat mustahil, kita masih tinggal di sini, di negeri yang belum melazimkan pernikahan sejoli . "Aku tahu yang kaupikirkan," katamu. "Tak usahlah ada pesta. Diam-diam saja. Yang utama dalam pernikahan ini cuma kita. Tak perlu saksi mata yang beramah-ramah karena kita hidangkan aneka makanan istimewa di hadapan mereka." "Tetap mustahil." "Kenapa?"

"Mi yang kaubilang istimewa ini belum juga sampai di lidahku." "Ah, kaubisa belajar merasakan keistimewaannya besok atau lusa. Selama ada komitmen, apa pun bisa kita nikmati bersama, bahkan masakan paling kacau dan tak enak sedunia."

"Kau bisa makan nasi kucing?" "Bukankah aku pernah menemanimu di warung hik?"

"Ya. Dan kau memberikan nasi bungkus itu pada kucing!" Kau terdiam. Mungkin kau mengira aku telah lupa pada salah satu kejadian paling menyakitkan dalam hidupku itu. Tidak. Aku tidak pernah lupa pada hal-hal yang menyakitkan. Aku memang mudah percaya dan bisa setia. Tapi begitu tersakiti, apalagi terkhianati, dendamku tidak akan bisa habis dimakan waktu. "Aku juga akan belajar untuk menikmati apa yang membuatmu nikmat," katamu kemudian dengan nada yang jauh dari yakin. Aku tahu itu karena hafal benar, kau memang lebih suka diikuti daripada mengikuti. Kau lebih senang dituruti ketimbang menuruti. Kecuali jika kau melihat ada keuntungan yang lebih besar di balik keharusan mengikuti atau menuruti itu. Juga ketika kau tak punya nyali untuk menawar, apalagi melawan. Malam itu, aku memutuskan untuk menolak ajakanmu. Jangankan menikah, sekadar hidup bersama serumah pun aku ogah. Maka kukatakan apa yang memang seharusnya kukatakan. "Maaf, aku tak bisa. Aku tak akan sanggup menanggung derita pemaksaan selera. Selama ini, aku setia padamu. Dan kau pasti tahu, aku bakal makin setia jika kita menikah. Sekarang aku belum bisa makan mi ini, tapi pasti kumakan jika kita telah benar-benar hidup bersama. Masalahnya, aku tak yakin kau akan setia sepertiku. Aku tak yakin kau mau makan nasi kucing kesukaanku." Kau tersenyum bijak. Mengangguk-angguk. Meraih dan menggenggam tanganku. "Aku suka gayamu...." Sembari berkata begitu, kaukecup punggung tanganku. "So?" "Kita menikah atau...."

"Atau apa?" Kau geser posisi dudukmu. Kita tak lagi berhadapan. Kita berdampingan atau berimpitan kini. Kemudian kaurangkul aku. Mesra. Rangkulan yang teramat mesra. Kemudian lagi, kau berbisik. "Aku suka gayamu...." "Jadi?"

"Kita menikah atau...." Aku tak mau lagi bertanya. Aku menunggu saja kalimat yang kaugantung itu. Selama apa pun. "Atau.... Ini!"

Jreb! Kautikam dada kiriku dengan garpu. Tembus ke jantung. Sekali. Kaucabut. Darah memancar. Lalu kautikamkan garpu itu berkali-kali. Tak kaupedulikan teriakanku yang menelan seluruh suara di resto itu. Tak kaupedulikan orang-orang yang tersentak dan secepat entah apa mengerumuni kita dengan teriakan takut campur marah. Tak kaupedulikan darah yang muncrat ke muka kita. Bahkan menjadi semacam saus kental manis bertabur di atas sepiring mi sea food yang belum sejulur pun kutelan. Tak kaupedulikan apa saja kecuali terus menikamku persis di jantung. Berkali-kali-kali-kali-kali! Sakit. Ya, aku sakit dan karena itu aku menjerit. Tapi karena kau begitu tak peduli, tak sedetik pun dendam merebak di hatiku. Aku justru jatuh iba padamu. Betapa kau telah diperbudak keinginan dan nafsumu sendiri. Betapa kau telah benar-benar lupa, perbedaan tak selalu bisa diselesaikan di meja makan, karena hidup ini tak melulu soal makan dan makanan. Ada yang lebih mulia, sungguh, ada yang lebih mulia: menghidupi dan menyetiai perbedaan! Karena itu, aku tak bakalan mati hanya karena tusukanmu. Sebanyak apa pun, setepat apa pun, di jantung.

Ke WEB , Satu , Dua , Tiga , Empat , Lima . Enam , Tujuh , Delapan , Sembilan , Sepuluh

Saturday, February 09, 2002 02:21:37 PM Copy Right :

Jumat, 09 Oktober 2009

ADD FBKU : NANDAZZ@YMAIL.COM

kutipan dr fikrionline.blogspot.com

INTERISTI SEJATI

Karena tidak mempunyai tiket untuk menonton pertandingan secara langsung, seorang interisti, julukan bagi suporter fanatik Inter Milan mencoba memasuki stadion dengan cara memanjat tembok stadion Geusepe Meaza untuk melihat derbi klasik antara AC Milan vs Inter Milan. Setelah berhasil memasuki stadion, dia melihat satu tempat duduk belum terisi dan disebelahnya duduk seorang Kakek yang dengan tenang menunggu dimulainya derbi itu. Interisti yang belakangan diketahui bernama Francisco Tapanuli itu kemudian mendatangi si Kakek dan bertanya kepadanya, “Permisi Kek, apakah tempat duduk di sebelah anda ini memang kosong atau ada orang lain yang akan menempatinnya tetapi belum datang kesini?”.

Kakek yang memakai kaos bermotif garis biru hitam, (Seragam tim Inter Milan) lengkap dengan syal bertuliskan Internazionale Milano itu menjawab, “Tempat duduk ini memang kosong!. Kalau mau anda boleh menempatinya!”.

“Terima kasih Kek!”, jawab Fransisco sambil duduk di sebelah Kakek itu. “Ngomong-ngomong, kenapa anda menonton pertandingan ini sendirian?”, lanjut Francisco.

“Selama lebih dari 20 tahun, saya bersama istri saya tak pernah sekalipun melewatkan derbi antara Inter Milan vs AC Milan, dan biasanya dia duduk di tempat duduk yang sedang anda tempati sekarang”, jawab si Kakek.

“Terus, dimana istri anda sekarang Kek?”, tanya Francisco dengan penasaran.

Dengan memandang ke wajah Fancisco Kakek menjawab, “Dia sudah meninggal dunia!”.

Mendengar jawaban Kakek, Francisco berkata, “Oh... Maaf Kek. Saya turut berbelasungkawa atas meninggalnya istri anda”.

“Terima kasih!”, tutur si Kakek.

Francisco dan Kakek terdiam.

Beberapa saat kemudian Francisco kembali bertanya kepada si Kakek, “Kenapa anda tidak mengajak kerabat yang lain untuk menonton pertandingan ini?”.

“Sekarang mereka semua sedang sibuk!”, jawab Kakek.

“Sibuk apa mereka Kek?”, Francisco bertanya lagi.

Dengan tenang si Kakek menjawab, “Mereka sedang menghadiri pemakaman istri saya”.

Francisco, “...!!!”, (dalam hati dia berkata, “Bener-bener Interisti Sejati”).


KANTOR POLISI

Pada suatu hari Fadli mendapat SMS dari Fani, pacarnya. Di SMS tersebut Fani bilang “Yang, skrng aq sdng d kntr polisi, smua bukti n saksi tlh mengarh kpd q, polisi tlh mengintrogasiku, aq takut, stlh bbrp lm akhrny...”. Tanpa berpikir panjang Fadli mengambil motor di garasinya dan langsung tancap gas menuju kantor polisi.

Sampai di kantor polisi, ternyata gadis pujaannya itu sama sekali tak terlihat batang hidungnya. Karena Fadli adalah anak yang sangat pemalu dan lugu, dia tidak berani bertanya kepada pak polisi yang sedang berjaga di kantor tersebut.

Setelah beberapa lama mondar-mandir di tempat tersebut, akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya kepada pak satpam yang sedang jaga di pintu gerbang. “Pak, boleh numpang tanya!, sejak tadi ada gak cewek yang di tahan di kantor ini?”.

“Waduh... saya gak tau mas, di sini saya hanya bertugas untuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dari tempat ini”, jawab pak satpam kepada Fadli.

“Kalau gitu, makasih pak!”, sahut Fadli.

Mendengar jawaban dari pak satpam, Fadli mempunyai inisiatif untuk menelepon pacarnya tersebut. “Hallo... Say, kamu ada dimana?, kucari ke kantor polisi kok gak ada?, gimana keadaan kamu?, katanya kamu ditahan di kantor polisi?”, ucap Fadli dengan sedikit merasa cemas.

Sambil tersenyum dia mencoba menenangkan kekasihnya, “Yang, sekarang aku sedang di rumah, aku baik-baik aja kok!”.

“Terus yang kirim SMS ke aku itu siapa?”, tanya Fadli kepada Fani.

“Oh... SMS itu, kamu pasti belum baca isi semua SMS dariku itu!. baca lagi donk!”, tukas Fani.

Fadli terdiam.

“Udah gitu aja yach... nanti pulsa kamu habis. Udah yach... dah sayaaang...”, Fani kemudian menutup hand phonenya.

Fadli masih bingung!. Lalu dia membuka SMS itu lagi dan membacanya. Beberapa saat kemudian dia tertawa sendiri karena tahu isi lengkap SMS tersebut adalah, “Yang, skrng aq sdng d kntr polisi, smua bukti n saksi tlh mengarh kpd q, polisi tlh mengintrogasiku, aq takut, stlh bbrp lm akhrny aq dpt srt tilang, d srt tu trtls anda dinyatakan bebas krn semua bukti n saksi menyatakan bahwa anda adalah wanita yg cantik menawan hati”.

Dalam hati Fadli berkata “Ternyata aku orang begok yach...!”.

Kamis, 08 Oktober 2009

dr de-kill.blogspot.com

Sakit kanker ato Aids??
Seorang penderita kanker di beritahukan oleh dokternya bahwa hidupnya tidak lama lagi hanya sekitar 2 minggu lagi. Mendengar khabar tak mengenakkan hati, ia memberitahukan anaknya untuk segera mengadakan pesta besar perpisahan.

Ditengah kawan-kawannya ia menyatakan : “Maaf teman-teman, Saya mengumpulkan Kalian agar tahu bahwa Saya tak lama lagi akan meninggalkan Kalian, AIDS telah merongrong tubuh Saya.”

Anaknya dengan heran bertanya : “Ayah, mengapa Ayah berbohong atas penyebab kematian Ayah?”

Ayahnya menjawab : “Sssst, aku tak mau salah seorang dari mereka akan tidur dengan Ibumu yang cantik setelah aku meninggal kelak !”

MENYAPU JEJAK LUKA

Sendiri ku berdiri disini
Di sudut pojok ruang hati
Mencari-dan terus mencari
Tanpa tahu apa yang ingin dicari
Hanya bisa merasakan
mencoba mencari kejujuran
Dalam rasa yang terus bergelora tak berkawan
Atas hati yang terus berkinginan
Tak ada angin berhembus
Membuat peluh mengalir menembus
Membawa sebuah kerinduan yang tak bertepi
Selalu hadir dalam hidup sepi
Biar, biarkan aku menata ruang di hati-----------------------------

Selasa, 11 Agustus 2009

TEMPAT TINGGAL

Aku tinggal di DS Paron Ngasem Kediri, bagi temen-temen yang mau kenal lebih dekat ma aku bisa add fs aku di: dhio_pinter@ymail.com.....
Aku ini orangnya suka bercanda dan penyayang teman..ih...NARSIES ABIZZZ,,, YA GAK.............